SUARAENERGI.COM – Sidang perdana Gugatan Praperadilan dari Pemohon Karen Agustiawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai Termohon berlangsung Senin (16/10/2023) di PN Jakarta Selatan.
Sidang pemeriksaan perkara praperadilan dengan nomor register 113/Pid.Pra/2023/PN.Jkt.Sel tanggal 6 Oktober 2023 tersebut seharusnya mengandendakan pemeriksaan Surat Kuasa dan juga pembacaan permohonan oleh Kuasa Pemohon.
Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunda sidang lantaran KPK selaku tergugat tidak hadir. KPK diketahui hanya mengirim utusan untuk membawa surat penundaan.
KPK awalnya meminta penundaan dilakukan tiga pekan. Namun hakim memutuskan sidang ditunda hanya sembilan hari dan sidang digelar kembali pada Rabu (25/10/2023).
Karen Agustiwan dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/10/2023) mengungkapkan, hal-hal pokok yang menjadi alasan mengajukan permohonan praperadilan antara lain karena Penyidikan dan Penetapan dirinya sebagai tersangka adalah Error In Persona.
Alasan lainnya, kata Karen, lantaran Penyidikan, Penetapan Tersangka dan Penahanan atau Upaya Paksa tidak sesuai dengan Hukum HAM dan Asas Legalitas dari peraturan perundang-undangan.
Tak kalah penting, alasan lain gugatan praperadilan yaitu karena Pengadaan LNG Merupakan Aksi Korporasi dan Kerugian Keuangan Negara Belum Pasti.
“Pertama-tama, mengenai error in persona. Perjanjian Jual Beli atau Sales Purchase Agreement / SPA antara Pertamina dengan Corpus Christi Liquefaction (CCL) yang ditandatangani di tahun 2013 dan 2014 pada zaman ia menjabat Dirut Pertamina sudah dianulir dalam SPA tahun 2015 dan belum ada pengiriman cargo yang terealisir,” ungkap Karen.
Dijelaskan Karen, seluruh SPA pengadaaan LNG di Pertamina, termasuk SPA tanggal 20 Maret 2015 dengan CCL, Total Gas and Power tanggal 29 Januari 2016, Chevron Eni Rapak Limited tanggal 21 November 2016, Eni Muara Bakau tanggal 21 Desember 2016 ditandatangani di zaman Dirut Pertamina Dwi Sutjipto, sedangkan SPA LNG dengan Woodside Energy Trading Singapore tanggal 5 Juni 2017 ditandatangani di zaman Dirut Pertamina Elia Massa Manik.
“Yang kedua adalah mengenai penyidikan, penetapan tersangka, dan upaya paksa yang tidak sesuai dengan HAM, Asas Legalitas dan peraturan perundang-undangan. Dalam proses penyidikan a quo, Penetapan Tersangka dilakukan bersamaan dengan dimulainya proses Penyidikan, padahal saya belum pernah diperiksa sebagai Saksi di tingkat Penyidikan,” ungkap Karen.
Menurut Karen, penetapan tersangka atas dirinya adalah tidak sah menurut hukum karena tidak adanya kejelasan dan tidak terang mengenai bukti permulaan yang cukup tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi dan pelakunya adalah dirinya, misalnya ia menerima suap atau janji.
“KPK telah menetapkan saya sebagai Tersangka dan Kawan-Kawan, tetapi tidak pernah dijelaskan kepada saya siapa dan kawan-kawan itu dan tidak dijelaskan dalam perbuatan dan dalam peristiwa apa perbuatan saya dan kawan-kawan itu melakukan dugaan tindak pidana korupsi,” ungkap Karen.
Dalam proses penyidikan, lanjut Karen, ia telah mengalami penundaan yang tidak semestinya, dimana ia baru diperiksa sebagai tersangka setelah satu tahun tiga bulan sejak ditetapkan sebagai tersangka.
“KPK telah melakukan penyeludupan hukum dalam melakukan pembatasan bepergian ke luar negeri terhadap saya, dimana terhadap saya telah dilakukan pencegahan ke luar negeri sebanyak dua kali masing-masing selama enam bulan dan kemudian alih-alih meniadakan larangan bagi saya bepergian ke luar negeri. KPK justru memutuskan untuk mengenakan pencegahan keluar negeri untuk ketiga kalinya terhadap saya, dengan cara berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk menarik paspor atas nama saya,” beber Karen.
Menurut Karen, ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 6 Juni 2022 dan baru dilakukan penahanan pada tanggal 19 September 2023, terhadap dirinya baru dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka sebanyak dua kali, sehingga penahanan yang dilakukan tidak relevan dan tidak beralasan.
“Ketiga, mengenai pengadaan LNG oleh Pertamina sebagai aksi korporasi. Pengadaan LNG dari CCL oleh Pertamina adalah Aksi Korporasi yang sah dan telah disetujui seluruh direksi secara kolektif kolegial. Selain itu, pengadaan LNG dari CCL merupakan bentuk perwujudan maksud dan tujuan Perseroan dalam rangka pelaksanaan perintah jabatan yang sah dari Presiden dan UKP4 serta Kementerian ESDM dan BUMN. Sungguh tidak masuk akal, mengapa justru saya yang ditersangkakan atas suatu Aksi Korporasi yang sah dan telah disetujui oleh Direksi Pertamina secara kolektif kolegial,” beber Karen.
Terakhir, ungkap Karen, mengenai kerugian keuangan Negara, perlu diketahui bahwa kontrak pengadaan LNG antara Pertamina dengan CCL masih berjalan hingga tahun 2040 dan seluruh penjualan dimulai dari tahun 2018 sampai dengan sekarang yang mengakibatkan potensi keuntungan USD 44.7 juta namun tidak dilakukan dan seluruh penjualan cargo cargo volume LNG seperti tertera di butir 4 dilakukan pada masa Dirut Pertamina Nicke Widyawati.
“Kenyataanya, pada saat ini pengelolaan cargo volume LNG dari CCL milik Pertamina justru telah bernilai positif dan menguntungkan Pertamina sejumlah USD 88.87 Juta atau setara Rp 1,3 Triliun. Oleh karena itu, sangat keliru perhitungan kerugian keuangan negara dalam penyidikan yang dilakukan KPK hanya dipotong/cut off sampai dengan tahun 2021 saja, padahal kontrak masih berjalan dan membukukan keuntungan,” ungkap Karen.
Karen Agustiawan menyatakan, jika ia harus ditersangkakan dan ditahan untuk SPA CCL yang tidak ditandantangani di zamannya dan juga atas kerugian yang terjadi di tahun 2020 dan 2021, supaya hukum konsisten dan tidak double standard, maka seluruh keuntungan penjualan LNG CCL dari tahun 2022 sampai dengan 2023, bahkan penjualan yang sudah committed akan terjadi pada tahun 2024 sampai dengan 2030, sudah seyogyanya diberikan kepadanya.
“Berdasarkan hal yang telah saya uraikan di atas khususnya mengenai alasan diajukannya permohonan praperadilan ini, telah demikian jelas bahwa proses penyidikan, penetapan tersangka, dan upaya paksa yang dilakukan KPK terhadap saya adalah tidak sesuai dengan HAM, Asas Legalitas dan peraturan perundang-undangan, serta melanggar asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia yang seharusnya wajib dijunjung oleh KPK dalam pelaksanaan tugas, tanggung jawab dan wewenang KPK, sebagaimana ketentuan Pasal 15 jo. Pasal 5 UU KPK. Oleh karena itu, Penyidikan, Penetapan Tersangka, maupun Upaya Paksa terhadap saya merupakan proses yang tidak sah dan tidak berdasar hukum,” pungkas Karen.