SUARAENERGI.COM – Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,2% secara mandiri, dan hingga 43,2% dengan bantuan internasional pada tahun 2030, seperti yang diatur dalam Enhanced NDC 2022. Selain itu, Indonesia menargetkan pencapaian nol emisi bersih (Net Zero Emission/NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, sebagaimana tercantum dalam Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR). Meskipun komitmen ini penting, transisi energi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan masih belum mendapatkan perhatian yang cukup dan belum ada langkah strategis yang jelas untuk mencapainya.
Aspek Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) dalam transisi energi sangat penting. Walaupun begitu, kajian, forum diskusi, dan implementasinya masih terbatas. LPEM FEB UI, bersama dengan Australian National University (ANU), The SMERU Research Institute, dan Institute of Essential Reform (IESR), melaksanakan kajian yang memasukkan aspek inklusivitas dalam model transisi energi. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis dampak transisi energi dari perspektif inklusivitas dengan fokus pada wanita dan penyandang disabilitas. Kajian ini terselenggara atas dukungan dari Pemerintah Australia melalui Program Knowledge Partnership Platform Australia-Indonesia (KONEKSI).
Untukmenyebarluaskanhasilkajian, telahdiadakanacaraDiseminasiHasilKajiandanDiskusi Publik dengan tema “Menuju Transisi Energi yang Inklusif di Indonesia” pada Kamis, 18 Juli 2024, di Jakarta. Acara dibuka oleh Vid Adrison, Ph.D – Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), dan secara daring oleh Prof. Frank Jotzo – Kepala Institute for Climate, Energy and Disaster Solutions, Australian National University. Keduanya menyampaikan mengenai pentingnya perumusan kebijakan yang dilandaskan pada kajian dan penelitian ilmiah dan empiris.
Sambutan pembukaan juga disampaikan oleh Jana Hertz selaku Team Leader dari Program KONEKSI. Di dalam sambutannya, Jana Hertz menyampaikan bahwa kajian ini merupakan salah satu dari 38 proyek yang terpilih untuk mendapatkan hibah setelah melewati proses seleksi yang kompetitif melalui panggilan proposal (Call for Proposal) KONEKSI yang pertama dengan mengangkat tema lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga menambahkan bahwa proyek kajian yang didanai oleh KONEKSI selalu memiliki ciri khas utama: 1) kemitraan antara lembaga Indonesia dan Australia, 2) fokus pada kesetaraan khususnya gender, disabilitas, dan inklusi sosial, 3) serta dampaknya terhadap inovasi kebijakan.
Selanjutnya, Dr. Alin Halimatussadiah – Kepala Kelompok Kajian Ekonomi Hijau dan Perubahan Iklim LPEM FEB UI yang bertindak sebagai Principal Investigator di dalam kajian ini memaparkan hasil kajian. Alin menjelaskan bahwa untuk melihat dampak transisi energi terhadap kelompok rentan, kajian ini menggunakan dua kerangka pemodelan dari perspektif makro dengan Global Change Analysis Model (GCAM) dan simulasi di tingkat mikro berbasis Almost Ideal Demand System (AIDS). Analisis di tingkat makro melalui GCAM menggunakan beberapa skenario pencapaian NZE untuk melihat dampak transisi energi terhadap harga komoditas, selanjutnya analisis simulasi mikro berfokus pada analisis perubahan kesejahteraan beberapa kelompok masyarakat di beberapa kelompok rumah tangga yaitu keluarga dengan kepala keluarga perempuan, keluarga dengan penyandang disabilitas, dan keluarga dengan anggota lansia dan anak anak melalui simulasi perubahan harga komoditas terhadap tingkat kemiskinan dan ketimpangan (melalui koefisien rasio Gini).
Alin memaparkan bahwa semakin ambisius skenario NZE atau semakin cepat target pencapaian NZE, maka dampaknya terhadap kenaikan harga komoditas akan semakin besar. Hal ini akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara lebih signifikan. Skenario NZE akan memperlambat penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan dibandingkan skenario tidak adanya transisi energi. Dampak terhadap kemiskinan lebih terasa pada rumah tangga dengan penyandang disabilitas dibandingkan rata-rata dan kelompok rentan lainnya. Sedangkan dampak terhadap ketimpangan lebih terasa pada rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan dibandingkan dengan rata-rata dan kelompok rentan lainnya.
Selain itu, dalam jangka pendek, tingkat kemiskinan akan meningkat, dan peningkatan lebih terasa pada rumah tangga dengan penyandang disabilitas. Alin menyampaikan bahwa temuan dari studi ini dapat dijadikan sebagai peringatan atau warning bahwa ada trade-off dalam upaya pencapaian NZE. Hal ini perlu diantisipasi salah satunya dengan menerapkan kebijakan fiskal untuk menyerap goncangan (shock) yang terjadi dengan memberikan proteksi sosial yang lebih baik terutama untuk kelompok rentan.
Alin juga menyampaikan beberapa poin refleksi, diantaranya terkait keterbatasan kajian yang saat ini baru melihat dampak dari transisi energi melalui dua indikator -kemiskinan dan ketimpangan- pada beberapa kelompok rentan. Diperlukan studi lebih lanjut untuk melihat aspek inklusivitas yang lain yaitu akses energi dan partisipasi dari kelompok rentan dalam transisi energi. Alin juga menyampaikan bahwa pemodelan iklim termasuk di dalamnya pemodelan energi mempunyai keterbatasan dalam memasukan indikator sosial ekonomi, karenanya diperlukan lebih banyak studi pengembangan model dan pengintegrasian model untuk menilai dampak kesejahteraan dari perubahan iklim, aksi perubahan iklim, atau secara khusus transisi energi.
Usai pemaparan kajian, acara dilanjutkan dengan diskusi publik yang dimoderatori Milda Irhamni, PhD, peneliti LPEM FEB UI, dengan menghadirkan beberapa narasumber yaitu Vivi Yulaswati – Deputi Bidang Maritim dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/BAPPENAS, Darel Muhammad Kamil – Tim Kerja Pendukung Satuan Tugas Pelaksana Transisi Energi Nasional Sektor Ketenagalistrikan, Maxensius Sambodo – Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fatum Ade – Koordinator Bidang Advokasi Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Elly Rosita Silaban – Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Asep Suryahadi – Peneliti Senior The SMERU Research Institute, dan Raden Raditya Wiranegara – Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR).
Diskusi berlangsung dengan antusias, di mana peserta aktif memberikan tanggapan dan pertanyaan kepada seluruh narasumber. Di akhir acara, Alin menekankan pentingnya eksplorasi lebih lanjut mengenai “pelibatan bermakna” dalam perencanaan dan implementasi kebijakan, serta perlunya data yang lebih rinci untuk merespons isu-isu terkait disabilitas dan gender secara efektif.