SUARAENERGI.COM – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan kemajuan upaya transisi energi Indonesia sejak COP 28 di Dubai bulan November-Desember 2023 lalu, pada The 9th Virtual Meeting Energy Transition Council (ETC) Ministerial, Rabu (22/5). Pada forum tersebut, Arifin berdialog secara daring dengan Menteri Negara untuk Keamanan Energi dan Net Zero Inggris Justin Tomlinson dan Sekretaris Departemen Energi Filipina Raphael P.M. Lotilla.
Arifin menyampaikan bahwa Indonesia telah menyampaikan Enhanced Nationally Determined Contribution (e-NDC) dan membuat Peta Jalan Net Zero Emission (NZE) sektor energi. Dalam dokumen e-NDC, tambah Arifin, Indonesia akan semakin mengurangi emisi, dari target sebelumnya 29 persen menjadi 32% pada 2030.
“Kami telah menyampaikan dokumen e-NDC yang akan semakin mengurangi emisi dari 29% ke 32% pada 2030. Kami juga telah membangun peta jalan NZE pada sektor energi yang akan dicapai pada 2060 atau lebih cepat melalui transisi energi bersih,” ujar Arifin pada forum tersebut.
Adapun saat ini Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan dokumen Second NDC yang memuat berbagai komitmen baru untuk pencapaian target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan kemampuan sendiri dan dukungan internasional pada tahun 2031 s.d. 2035, yang sejalan dengan skenario 1,5 derajat celcius. Second NDC akan membandingkan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terhadap tahun rujukan atau reference year 2019, yang berbasis inventarisasi GRK. Jadi tidak lagi menggunakan baseline business as usual.
Dalam dokumen Second NDC, Indonesia juga akan memutakhirkan kerangka transparansi yang mencakup Sistem Registri Nasional (SRN) dan MRV (measurement, reporting and verification). Selain komitmen mitigasi, Indonesia juga akan lebih memperkuat komitmen adaptasi perubahan iklim berdasarkan pelaksanaan Enhanced NDC.
Arifin menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia sangat yakin dapat mencapai target pencapaian NZE pada 2060, meski masih terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan. Tantangan tersebut di antaranya potensi sumber energi terbarukan yang beragam, namun tersebar di berbagai titik di seluruh Indonesia yang jauh dari demand utama.
“Maka dari itu, kita perlu mengembangkan infrastruktur interkoneksi melalui jaringan listrik dan pipa gas untuk mendukung integrasi energi regional dan pembangunan ekonomi. Indonesia akan mengembangkan Super Grid untuk untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, menyelesaikan kesenjangan antara produsen dan konsumen, serta intermiten energi terbarukan. Pipa gas juga akan dibangun dari Sumatera ke Jawa untuk memanfaatkan sepenuhnya sumber daya gas kami,” jelasnya.
Selain itu, Arifin berpendapat bahwa Perkembangan teknologi dalam skala industri perlu dipercepat dan dipermudah untuk memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan. Indonesia juga perlu memperluas hilir industri pengolahan mineral untuk membangun ekosistem dan rantai pasokan yang mendukung transisi energi, serta menciptakan lapangan kerja baru.
Terkait dukungan finansial, Arifin menyampaikan bahwa pengembangan proyek transisi energi bersih serta industri pendukungnya akan memerlukan pendanaan dan dukungan finansial lainnya.
“Ada beberapa inisiatif seperti JETP, AZEC, IPEP yang saat ini sedang berjalan. Namun, kita memerlukan dukungan keuangan lebih lanjut untuk mempercepat pencapaian NZE, terutama di bidang-bidang yang kurang menarik bagi sektor swasta, seperti penghentian penggunaan batubara serta modernisasi dan perluasan jaringan listrik,” pungkas Arifin.
Energy Transition Council (ETC) dibentuk di bawah COP 26 dan diluncurkan pada 21 September 2020 dan diketuai secara bersama oleh COP26 President, Alok Sharma; and UN Secretary General’s Special Representative for Sustainable Energy & CEO of Sustainable Energy for All (SEforAll), Mrs. Damilola Ogunbiyi.
ETC beranggotakan organisasi multilateral dan regional di bidang pembangunan berkelanjutan dan keuangan. ETC Meeting ingin mendorong peningkatan komitmen negara-negara penandatangan Paris Agreement untuk pengurangan emisi.