Lagi dan lagi isu konflik Laut China Selatan menjadi trending topik di tahun ini. Laut China Selatan (LCS) menjadi isu panas yang bisa bikin pecah konflik. Republik Rakyat Tiongkok atau kita kenal China adalah sebuah negara dengan perkembangan super cepat yang berpotensi menjadi polisi dunia menggantikan Amerika Serikat (AS).
China punya sejarah panjang pasang surut meraih kemenangan dalam peperangan sejak jaman kekaisaran Tiongkok berdiri, China modern saat ini mengetahui bahwa kelemahan negeri tirai bambu mudah diserang melalui sungai dan laut. Kekalahan telak kekaisaran Tiongkok oleh pasukan Mongol pada pertempuran Yamen (1297) dimana Kaisar Bing (dinasti Song) digantikan oleh Kubilai Khan mendirikan Dinasti Yuan (Mongol) di China. Dengan pengalaman sejarah panjang pertempuran di laut maka Tiongkok sangat berkeyakinan untuk memperkuat armada tempur lautnya dan menciptakan fasilitas militer pulau buatan di LCS.
Yang membuat Indonesia meradang kini adalah ketika klaim peta standar terbaru negeri tirai bambu menerobos ke bagian Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) perairan Natuna Indonesia menjadi bagian 9 garis putus-putus (9 dash lines). Bill Hayton pernah mengingatkan, biang keributan klaim ini gara-gara salah terjemahan, pemerintah Tiongkok menganggap laut dangkal sebagai pulau kemudian pulau yang tidak pernah ada itu dipakai menjadi titik batas lautan negara.
Hasil pelacakan Hayton menyebutkan juga peta produk pemerintah China saat itu adalah hasil salinan dari United Kingdom Hydrographic Office tahun 1906 berjudul ‘China Sea Directory Volume 1 dan 2’, serta dari ‘Asiatic Archipelago’ terbitan Edward Stanford Ltd of London, tahun 1918. Dua-duanya merupakan peta buatan Inggris.
Kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 1948, Republik China menerbitkan Atlas Area Administratif yang dilengkapi dengan gambar garis berbentuk huruf U di Laut China Selatan, bentuknya adalah 11 garis putus-putus. 11 Garis putus-putus itu kemudian dikenal di publik internasional sebagai 9 Garis Putus-putus atau ‘Nine Dash Line’. Inilah penyebab salah menerjemahkan peta Inggris yang disadur ke bahasa China.
Pilih Investasi atau Kedaulatan Maritim
Investasi Tiongkok bisa menjadi dilema bagi Indonesia karena merupakan investor terbesar peringkat ke 2 (2023) setelah Singapura menurut data BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang mendominasi pembangunan infrastruktur, konstruksi dan jaringan transportasi Indonesia karena menyediakan kemudahan pinjaman hutang investasi dengan bunga terjangkau dan kompetitif disertai transfer alih teknologi dibanding AS serta sekutunya Jepang dan Eropa yang dikenal terlalu banyak mengatur dan mahal pembiayaan infrastruktur mereka.
Sri lanka salah satu korban yang gagal membayar hutang kepada Tiongkok. Akibatnya Sri Lanka harus rela kehilangan kendali atas aset pelabuhan dan bandara yang akhirnya dikuasai perusahaan plat merah Tiongkok selama 99 tahun untuk melunasi hutangnya senilai US$ 8 miliar.
Diplomasi Maritim
Ketegangan konflik di LCS tentunya bisa memberikan keuntungan strategis bagi Indonesia sebagai inisiator perdamaian bagi negara-negara yang terlibat konflik dengan China. Memang tidak mudah meredakan ketegangan di LCS yang bisa menjadi konflik kawasan bila tidak ditangani dengan strategi mendinginkan kawasan. Ada kesimpulan analis geopolitik menyatakan perang dunia ke-3 bisa berpotensi besar (1) di kawasan LCS seperti api dalam sekam yang menyulut perang akbar di kawasan Asia menyebar ke seluruh dunia, (2) konflik di Timur Tengah dan (3)perang Eropa diawali bekas kawasan negara Uni Soviet.
Indonesia dengan kekuatan militer menengah tidak mungkin mendukung salah satu poros kekuatan atau negara adidaya seperti kelompok Amerika dengan AUKUS (kemitraan keamanan trilateral AS, Inggris dan Australia plus Jepang)nya dan Tiongkok dengan anggaran belanja militernya yang tidak terbatas dengan dukungan para negara debitur pendukung poros jalur sutera maritim.
Indonesia perlu menerapkan diplomasi kemaritiman seraya meningkatkan kemampuan militer kemaritimannya menjaga kedaulatan laut Natuna Utara (Natura) hingga ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang bersinggungan dengan klaim peta baru Tiongkok 2023.
United Nations Convention on The law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang menggolkan permintaan Indonesia dari jarak kedaulatan teritorial 3 mil menjadi 12 mil dan 200 mil garis terdepan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) yang ditarik dari garis pantai Indonesia adalah satu dari sekian keunggulan diplomasi kemaritiman Indonesia, Indonesia hanya pernah sekali kalah memperjuangkan pulau Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan Malaysia disebabkan lambannya Indonesia pulih dari krisis moneter dan dinamika politik dalam negeri meredam separatisme dan aksi terorisme yang kurang diperhatikan gerakan diplomasi kemaritiman hingga menjadi tumpul ketika bersengketa di mahkamah internasional dalam memperjuangkan pulau terluar dan terdepan teras Indonesia pada saat itu.
Kesadaran Indonesia untuk kembali memperkuat diplomasi dan kekuatan militer kemaritiman terjadi karena keluhan para nelayan kita terhadap arogansi nelayan negara tetangga yang masuk dan menyerobot ikan-ikan kita dengan jaring raksasa yang anakan ikan pun ikut terjaring mencuri di perairan Natuna yang bersinggungan dengan titik koordinat LCS pemilik negara yang bersengketa seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei dengan Tiongkok. Nelayan itu berpura-pura menyaruh menggunakan bendera Indonesia, lalu terbongkar oleh para petugas patroli laut baik Bakamla, Dinas Kelautan & Perairan (DKP), polisi air dan laut serta TNI AL, maka kapal – kapal mereka itu ditenggelamkan daripada dibawa ke daratan yang akhirnya kembali kepada si pemilik kapal dengan membayar denda atau membeli kembali kapal tersebut lewat perantara pihak ketiga, yang paling terjadi penenggelaman kapal di era Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Pihak yang paling protes adalah negeri Tirai Bambu ketika TNI AL dituding mengejar dan menembaki nelayan mereka dengan KRI Imam Bonjol di perairan Natuna.
Kebijakan strategi penguasaan LCS yang bersinggungan dengan laut Natuna Utara (Natura) mengikuti peta standar baru klaim sepihak Tiongkok yang setiap tahunnya diperbaharui setelah perang dunia ke II, yang menjadikan sembilan garis putus-putus menjadi 10 garis putus-putus dimana Taiwan dimasukkan sebagai bagian wilayah integrasi China.
Strategi kemaritiman Tiongkok dilakukan seperti pengawalan nelayan mereka oleh pihak angkatan laut China mencuri ikan memasuki perbatasan laut Natura seperti terjadi pada tahun 2016. Strategi pengawalan itu cukup berhasil dan militer AL China merasa superior karena tidak mengalami perlawanan keras dengan nelayan dan aparat kapal patroli negara tetangga dan dilakukan sesuai perintah tertinggi militer untuk menjaga kawasan LCS peta klaim terbaru mereka. Alasan klasik Tiongkok membangun pulau buatan untuk menjaga nelayan tidak diganggu perompak, tetapi pada kenyataannya Tiongkok membangun landasan militer dan landasan pacu untuk mobilitas pergerakan militer angkatan laut dan udara mereka sebagai klaim teritorial kedaulatan laut mereka, dan inilah menjadi pemicu sengketa konflik perbatasan kemaritiman beberapa negara ASEAN yang terdampak klaim peta terbaru 9 garis putus-putus Tiongkok yang perlu komunikasi politik berkelanjutan baik secara bilateral maupun ASEAN dengan China.
Strategi Tiongkok ini mirip dengan yang dilakukan Malaysia bersengketa dengan Indonesia untuk menguasai pulau Sipadan dan Ligitan dimana Malaysia memperhatikan keadaan suku Bajau sebagai nelayan yang berasal dari Sulawesi, Indonesia dengan mempermudah akses kebutuhan mereka menetap di pulau Sipadan dan Ligitan hingga berpindah kepemilikan jatuh ke tangan Malaysia.
Filipina yang turut berkonflik dengan Tiongkok merasakan dampak langsung saat nelayan mereka melaut “dikerjai” militer angkatan laut Tiongkok. Meski Filipina membawa isu kedaulatannya ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag, Belanda pada tahun 2013 kemudian dimenangkannya. Namun, realitanya Tiongkok menolak keputusan pengadilan internasional dan masih terus berlanjut membangun infrastrukturnya di LCS. Aksi jumawa AL Tiongkok didukung dengan teknologi canggih kemaritiman dan pembangunan fasilitas militernya bisa menyulut negara-negara UNCLOS menyatukan persepsi menolak kehadiran Tiongkok di LCS.
Indonesia dengan jalur politik bebas aktifnya harus membuktikan kemampuan diplomasi kemaritiman menjadi negara yang berdaulat dan menjadi pemain geopolitik dunia yang patut diperhitungkan dan didengar oleh negara besar yang bersaing memperebutkan pengaruh geopolitik di kawasan LCS.
Penulis: Fransisco, S.S.
(International Relationship Enthusiast)