SUARAENERGI.COM – Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di persimpangan dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki posisi strategis yang dapat dimanfaatkan secara optimal dalam jalur perdagangan laut domestik maupun internasional. Keberadaan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) menjadi jalur vital bagi arus pelayaran internasional yang melintasi perairan Indonesia.
Peranan vital angkutan logistik laut dalam mendukung aktivitas ekonomi dan bisnis tidak bisa diabaikan. Distribusi barang dari satu daerah atau kota ke pulau atau kota lainnya memerlukan peran yang kuat dari angkutan logistik ini. Kontribusinya dalam pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi sangatlah signifikan. Sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, Presiden Joko Widodo telah menginisiasi program tol laut.
Dengan potensi besar yang dimiliki oleh angkutan logistik laut, minat beberapa perusahaan asing untuk berinvestasi di Indonesia semakin meningkat. Salah satunya adalah Abu Dhabi Ports Group (AD Ports), yang baru-baru ini mengakuisisi perusahaan pelayaran Indonesia, PT Meratus Line, dengan nilai transaksi yang diperkirakan mencapai $2 miliar. Bahkan, rencananya AD Ports akan turut mengelola pelabuhan Patimban di Jawa Barat.
Kehadiran AD Ports dalam ranah angkutan pelayaran dan logistik domestik menarik respons dari Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), DR. Marcellus Hakeng Jayawibawa, yang juga merupakan Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
“Kehadiran AD Ports sebagai investor asing dalam sektor angkutan laut harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan pelaku industri pelayaran di Indonesia. Ini harus menjadi peringatan bahwa kondisi perusahaan pelayaran nasional sedang tidak stabil. Hal ini dimanfaatkan oleh investor asing untuk masuk ke perusahaan pelayaran atau angkutan laut yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Seiring berjalannya waktu, perusahaan pelayaran bisa diambil alih oleh investor asing, dan kita akan kesulitan mengembalikan kepemilikan sahamnya. Ini berkaitan dengan kedaulatan ekonomi di bidang pelayaran yang seharusnya menjadi milik nasional,” ujarnya dalam pernyataannya kepada media pada hari Rabu (29/11).
Capt. Marcellus Hakeng berharap prinsip cabotage (kebijakan pelayaran dalam negeri yang memberikan hak eksklusif kepada operator pelayaran lokal) harus tetap dijaga guna melindungi perusahaan pelayaran nasional. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam mendukung perkembangan industri pelayaran.
Menurut Capt. Marcellus Hakeng, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menegaskan pentingnya persaingan usaha yang sehat, di mana setiap penyelenggara angkutan perairan di dalam negeri harus mampu berkembang secara independen, kompetitif, dan profesional. Persaingan tersebut harus mendorong kondisi usaha yang adil bagi pelaku usaha dari segala skala, serta mencegah praktik monopoli dan persaingan yang tidak sehat.
Namun demikian, Capt. Hakeng juga mengingatkan, “Jika terlalu banyak perusahaan pelayaran asing yang masuk, ada potensi gangguan terhadap Kedaulatan Maritim Indonesia.”
Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kedaulatan merujuk pada landasan hukum, kekuatan, dan kekuasaan tertinggi di dalam negara. Kekuasaan tersebut memberikan Indonesia wewenang untuk menentukan kebijakan sendiri serta menjalankannya.
Kedaulatan maritim menandakan kewenangan eksklusif suatu negara dalam melakukan aktivitas kenegaraan di wilayah laut yang menjadi haknya. Indonesia telah melalui proses diplomasi panjang untuk memperjuangkan kedaulatan maritimnya.
Menurut Capt. Hakeng, kedaulatan maritim juga terkait dengan ketersediaan kapal angkutan logistik laut yang dimiliki secara domestik oleh Indonesia. Kehadiran kapal ini sangat vital bagi negara kepulauan terbesar di dunia, karena berperan dalam mendukung aktivitas ekonomi dan bisnis dengan menghubungkan distribusi barang dan penumpang antar-pulau.
“Perhatian juga harus diberikan pada perkembangan muatan kargo di Indonesia, di mana saat ini sebagian besar terpusat di wilayah Barat. Diperlukan upaya sinergi dengan stakeholder lain seperti sektor pertanian dan industri untuk mencapai keseimbangan dalam rantai pasok logistik antara wilayah Barat dan Timur Indonesia,” tambahnya.