OPINI, Terbarukan

Menimbang CCS atau Renewable Energy, Pilih Mana?

SUARAENERGI.COMAll roads lead to Rome, banyak jalan menuju Roma, many paths to the same goal. Demikian ungkapan/kiasan yang tepat untuk menggambarkan upaya-upaya menuju net zero emission menghadapi perubahan iklim. Maka dari itu saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya bahwa net zero emission dapat ditempuh hanya dengan satu jalan/satu cara saja.

Pada intinya umat manusia di dunia telah sepakat bahwa pelepasan karbon ke atmosfir harus secara serius dikendalikan bahkan kalau bisa dicegah, dihindarkan, bahkan diharamkan. Namun umat manusia juga sadar bahwa pelepasan karbon terbanyak ke atmosfir itu tak lain dan tak bukan umumnya digunakan untuk memenuhi kehidupan manusia alias bukan untuk tujuan yang sia-sia, yaitu utamanya men-generate energi, dus persoalan intinya adalah bagaimana menjada ketersediaan produksi tetap sustain, namun karbonnya dikurangi atau dihindari.

Ada banyak istilah yang telah dikenalkan berbagai kalangan untuk soal pengendalian karbon ini; ada yang menyebut Low Carbon Emission, Carbon Neutrality, Carbon Drawdown, Carbon Negative, Carbon Buzzwords, De-Carbonization hingga Net Zero, lagi-lagi intinya sama yaitu  agar pemanasan global dapat dikurangi/dijaga di bawah 2 derajat Celcius bahkan sebisa mungkin di bawah 1,5 derajat Celcius

Otak manusia itu memang luar biasa, ada yang mengatakan memori otak manusia dewasa mencapai 2,5 juta gigabytes (entah benar atau tidak saya bukan ahlinya), namun faktanya manusia itu dapat berpikir dan menciptakan teknologi untuk menghindari/mengurangi karbon yang dilepas ke atmosfir setidaknya dengan dua cara: pertama, menciptakan/membuat alat yang bisa memproduksi energi dari sumber-sumber yang tidak menghasilkan karbon, dan atau kedua, menciptakan teknologi untuk menangkap karbon yang dihasilkan dari suatu proses produksi energi yang selama ini sudah berjalan ataupun yang baru akan dibangun.

Untuk yang bentuknya penciptaan energi alternatif baru yang tidak mengahasilkan karbon disebut dengan Clean Renewable Energy, sedangkan penciptaan teknologi penangkap karbon lazim disebut dengan Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi CCS ini dipakai oleh industri minyak dan gas bumi agar tetap berkesinambungan.   

Setelah penciptaan dilakukan, maka bukanlah manusia kalau kemudian tidak bersaing bahkan mempertentangkan mana yang lebih baik diantara Clean Renewable Energy vs Carbon Capture Storage?

Untuk mengendalikan karbon. LSM-LSM internasional seperti: Greenpeace, Climate Justice Alliance, Indigenous Environmental Network terang-terangan menolak CCS  bahkan pernah memasang iklan di Washington Post bertuliskan calling on policymakers to reject CCS as a false solution”

Yang menolak CCS mendalilkan bahwa CCS adalah teknologi yang belum terbukti, belum dijamin keamanannya terhadap lingkungan dan mahal biayanya oleh karena itulah mengapa hingga saat ini tidak dilaksanakan secara masif padahal sebenarnya teknologi CCS ini bisa dianggap sudah cukup matang sejak dikembangkan pada tahun 70-an. Di sisi lain pembela CCS mengatakan bahwa kampanye renewable energy itu terlampau banyak yang baru bersifat “omon-omon” dan “angan-angan”.

Belum lama ini petinggi Saudi Aramco Amin Nasser CEO pada tanggal 18 Maret 2024 di Forum CEO Annual Gathering CERAweek Energy di Houston mengatakan: the energy transition is failing and policymakers should abandon the “fantasy” of phasing out oil and gas, as demand for fossil fuels is expected to continue to grow in the coming years.

Terlepas dari polemik pro kontra CCS vs Renewable, bagi Indonesia yang kebetulan bukanlah negara yang menciptakan dan memproduksi teknologi sendiri untuk keduanya, namun memiliki potensi sumber daya alam yang bagus untuk kedua-duanya maka mengayuh dengan dua dayung akan lebih baik.

Cadangan minyak dan gas bumi yang sudah ditemukan (discovery) baik yang sudah dikembangkan maupun belum dikembangkan, maupun yang masih terus dicari (dieksplorasi) sudah semestinya tidak dibiarkan apalagi dihambat dengan isu clean renewable energy, bahkan sebaliknya harus dioptimalkan secara masif dengan mengadopsi teknologi CCS secara bijak, sambil juga secara serius mengembangkan clean renewable energy.

Tidak bisa dipungkiri, semua penerapan teknologi untuk mengendalikan karbon tidak lepas dari hitung-hitungan ekonomi. Bagi para investor hitungan ekonomi yang paing sederhana adalah soal return on investment dan profit, sedangkan bagi publik/konsumen adalah soal affordability/kemampuan daya beli alias harga energi yang pantas.

Belum lama ini Indonesia merilis Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2024 Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, setelah sebelumnya Menteri ESDM melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 menerbitkan Peraturan Menteri tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kedua beleids regel ini merupakan peraturan yang kejar tayang, mengingat salah satu produsen gas eksisting di Indonesia di Papua yakni BP, dan calon produsen gas besar lainnya yakni Inpex (lapangan Abadi Masela) mendesak untuk menerapkan teknologi CCS pada pengembangan lapangannya yang baru karena disyaratkan oleh pemegang kendali finansial yang mendanai proyek-proyek mereka. Akibatnya Permen tersebut harus lahir duluan ketimbang Perpresnya (cucu lahir duluan ketimbang anaknya).

Sementara itu pada sisi lain, pembahasan mengenai Undang-undang  Energi Baru Terbarukan (EBT) masih menempuh perjalan panjang. Dalam draft RUU yang pernah beredar di tahun lalu, rancangannya masih berbunyi: (1) Pemerintah Pusat dapat menugaskan perusahaan listrik milik negara atau badan usaha milik swasta untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari Energi Baru. (2) Penugasan Pemerintah Pusat kepada perusahaan listrik milik negara atau badan usaha milik swasta sebagaimana  dilakukan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan listrik milik negara atau badan usaha milik swasta, termasuk keseimbangan pasokan dan beban serta kesiapan sistem kelistrikan setempat. (3) Pemerintah Pusat dapat menugaskan perusahaan listrik milik negara, perusahaan minyak dan gas bumi milik negara, atau badan usaha milik swasta untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari Energi Baru. (4) Dalam hal Pemerintah Pusat menugaskan perusahaan listrik milik negara, perusahaan minyak dan gas bumi milik negara, atau badan usaha milik swasta sebagaimana dimaksud di atas, maka perusahaan atau badan usaha dimaksud mendapatkan insentif.

Tampaknya dari rumusan RUU isu utama soal power wheeling (pemakaian sistem transmisi dan distribusi eksisting PLN untuk pembangkit- pembangkit listrik baru dari energi terbarukan) sebagaimana telah lazim diterapkan di Eropa, masih belum selesai/belum bisa diterima, akibatnya cukup sulit mengharapkan produksi listrik dari EBT ini akan segera mengurangi pasokan listrik berbahan baku fosil.

Kembali soal isu CCS, dalam pertimbangan Perpres 14 Tahun 2024 disebutkan: a. bahwa dalam rangka memenuhi kontribusi Ditetapkan target yang Secara Nasional dan menuju Net Zero Emission Tahun 2060 atau lebih cepat, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon memiliki peranan penting mereduksi dalam emisi karbon pada kegiatan penghasil emisi; b. bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai wilayah penyimpanan karbon dan berpotensi menjadi penangkapan lokasi di tingkat nasional dan regional sehingga meningkatkan daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari proses bisnis penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon; Maka menurut saya, langkah yang ditempuh Indonesia sudah tepat menyikapi CCS dan Clean Renewable Energi, agar bisa berjalan seiring.

Untuk itu maka sama halnya dengan rancangan undang-undang energi baru terbarukan yaang akan memayungi kegiatan energi baru terbarukan maka revisi undang-undang migas yang jua memayungi CCS agar lebih kuat harus segera digas pol lagi, jangan lemot terus hingga hampir dua belas tahun tetap jalan ditempat.

Bagiamana Pak Menteri ESDM dan Pak Ketua Komisi VII DPR? Sepakat kan….???

Oleh: Didik Sasono Setyadi

Dosen Tamu di Universite Le Havre Perancis, Ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET), Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Energi Berkelanjutan Sekolah Pasca Sarjana Unair Surabaya dan Pengajar Tetap di Petroleum University UP 45 Yogyakarta   

Ikuti Kami

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top