SUARAENERGI.COM – Pengamat Maritim dari IKAL SC, DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar, menyatakan masifnya keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia merupakan masalah serius yang perlu segera diatasi, dan patut dicatat bahwa hal tersebut adalah situasi yang sudah berlangsung lama, bahkan lebih lama dari usia republik ini.
“Kita harus sepakat bahwa pelabuhan tikus merupakan ancaman bagi keamanan nasional dan perekonomian Bangsa Indonesia,” kata Hakeng dalam keterangannya dikutip Jumat (1/9/2023).
Diungkapkan Hakeng, pelabuhan tikus merupakan pelabuhan yang tidak dikelola dengan baik dan tidak memenuhi standar nasional dan internasional. Pelabuhan-pelabuhan ini sering digunakan untuk kegiatan ilegal, seperti penyelundupan barang, perdagangan manusia, dan juga perdagangan narkoba. Dengan demikian, segala kegiatan yang ada di pelabuhan itu tentu saja merugikan negara.
“Pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk menutup pelabuhan tikus dan memperbaiki pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Pemerintah perlu berinvestasi dalam infrastruktur, pelatihan, dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Indonesia aman dan terjamin,” ujarnya.
Menurut Hakeng, saat ini terdapat sekitar 3.000 lebih pelabuhan di Indonesia, akan tetapi hanya sebagian kecil yang sudah dikelola dengan baik. Sisanya masih membutuhkan peran serta pemerintah guna memperbaiki tata kelolanya.
Kasus penyelundupan masih saja terjadi di Indonesia ditengarai karena banyaknya pelabuhan tikus tersebut. “Keberadaan pelabuhan tikus di Indonesia merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap kasus penyelundupan. Pelabuhan tikus sering digunakan penyelundup untuk membawa barang ke Indonesia secara illegal. Kita mempunyai sekitar 6.000 pulau yang berpenghuni, tapi kita hanya memiliki sekitar 3.000 pelabuhan yang beroperasi secara resmi, berarti masih ada tiga ribuan pulau berpenghuni yang sampai detik ini mengandalkan pelabuhan tikus sebagai satu-satunya alternatif keluar masuknya orang atau barang di wilayahnya,” kata dia.
Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa kasus penyelundupan masih terjadi di Indonesia selain dari masih kurangnya jumlah pelabuhan resmi di Indonesia. Alasan-alasan ini meliputi masih terpeliharanya perilaku korup di lingkup pelabuhan yang memudahkan para penyelundup untuk beroperasi.
Kemudian kurangnya jumlah penegak hukum di mana pemerintah tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menegakkan peraturan di pelabuhan secara efektif. Analisa lain terkait posisi kita yang berbatasan langsung dengan banyak negara tetangga, yang mana kedekatan Indonesia dengan negara tetangga yang peraturannya kurang ketat (vice versa) juga memudahkan penyelundup untuk membawa barang ke Indonesia.
Dia mengimbau, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini. Pertama pemberantasan korupsi. Pemerintah perlu menindak korupsi di kalangan pejabat pelabuhan dan aparat penegak hukum, secara khusus saya melihat di sini pentingnya personel-personel penegak hukum termasuk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan pengayaan terkait pengetahuan tentang dunia maritim, atau para personel tersebut dapat juga direkrut dari para praktisi maritim agar mereka bisa masuk dan melakukan tindakan pencegahan terhadap korupsi di bidang Maritim yang masih masif terjadi serta belum menjadi perhatian kita.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan penegakan peraturan di pelabuhan. Kemudian yang Ketiga adalah Pemerintah perlu lakukan penguatan hukum terhadap para pelaku penyelundupan. Langkah keempat, kita perlu bekerjasama dengan Negara-Negara tetangga dalam rangka pencegahan penyelundupan secara bersama-sama.
Penyeragaman standar pelayanan operasional pelabuhan untuk melayani kegiatan kapal dan barang juga sangat penting, menurut pandangan Hakeng, sudah banyak pelabuhan yang memiliki standar yang baik, terutama pelabuhan-pelabuhan besar, tapi masih lebih banyak lagi pelabuhan yang ada di Indonesia yang belum memenuhi layanan operasional yang standar. Dia mengatakan bahwa pelabuhan sering penuh sesak, tidak dikelola dengan baik, dan kekurangan infrastruktur yang diperlukan.
Pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk memperbaiki pelabuhan yang ada di Indonesia. Pemerintah perlu berinvestasi di bidang infrastruktur. Kegagalan pemerintah untuk meningkatkan pelabuhan yang ada di Indonesia merupakan hambatan utama bagi pembangunan ekonomi negara. Kita harus ingat bahwa dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan, yang terdiri dari 17.504 pulau-pulau.
“Saya senang karena dalam pernyataannya beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah sedang bekerja untuk meningkatkan pelabuhan yang ada di Indonesia. Dimana dikatakan oleh beliau pemerintah telah mengalokasikan Rp 100 triliun untuk membenahi pelabuhan,” ujarnya.
Upaya pemerintah untuk memperbaiki pelabuhan yang ada di Indonesia merupakan langkah positif. Namun, perlu waktu untuk menikmati hasil dari upaya ini. Sementara itu, penting untuk memotret masalah pelabuhan yang ada dan mengambil langkah-langkah untuk memitigasi risikonya.
Menurut pantauan Hakeng ada beberapa permasalahan pelabuhan yang ada di Indonesia antara lain : terlalu padat, pelabuhan sering penuh sesak oleh kegiatan yang malah menyulitkan kapal untuk beroperasi. Manajemen yang buruk, Pelabuhan seringkali tidak dikelola dengan baik, yang menyebabkan inefisiensi dan korupsi.
Kurangnya infrastruktur, Pelabuhan seringkali mengalami kekurangan infrastruktur yang diperlukan, seperti kebutuhan akan adanya terminal baru yang lambat dalam pembangunannya dan kebutuhan pengerukan alur guna kelancaran proses keluar masuknya kapal. Permasalahan tersebut mempersulit pelabuhan untuk melayani aktivitas kapal dan barang secara efektif. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan, kemacetan, dan biaya yang lebih tinggi.
“Pemerintah perlu mengambil tindakan segera untuk memperbaiki pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia. Ini akan membantu meningkatkan perekonomian negara dan membuat operasional pelabuhan lebih aman dan terjamin,” pungkas Capt. Hakeng.