SUARAENERGI.COM – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menyinggung ketergantungan impor pada bahan-bahan pokok. Ia lantas menyoroti adanya potensi sulitnya mendapatkan pasokan komoditi impor, imbas dari adanya gejolak di dunia internasional.
“Hampir sepuluh tahun ini sejujurnya saja pemerintah belum berhasil mengatasi ketergantungan impor minyak bumi, beras, jagung, gula, kedelai, daging, dan bahan pangan pokok rakyat lainnya. Saat muncul perang kita terancam susah mendapatkan pasokan, dan harganya tinggi, ditambah membayar dengan Dolar AS yang sedang tinggi. Itu yang kita hadapi saat ini,” jelas Said di Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Lonjakan harga beras pun tak luput dari perhatiannya. Kekeringan yang mendera berbuntut pada kenaikan harga beras yang mencapai 27 persen, menuntun pada kondisi inflasi beras. Said menilai, fenomena ini menjadi pertanda bahwa beberapa program pemerintah terkait pangan belum berjalan efektif.
“Dalam kasus beras, banyak sawah kekeringan, dan selama Agustus-September 2023 harga yang melonjak hingga 27 persen. Akibatnya terjadi inflasi beras mencapai 5,6 persen tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Ini sekaligus menjadi sinyal ke pemerintah program embung dan bendungan belum bekerja baik. Sementara program food estate juga belum mampu menjadi penyedia pasokan,” jelas Legislator Dapil Jawa Timur XI itu.
Pihaknya mendorong agar pemerintah mempersiapkan kebijakan fiskal yang kuat dan sistematis menghadapi hal ini. Sehingga kebijakan yang dijalankan komprehensif, tidak sepotong sepotong yang jelas tidak menyelesaikan masalah. Disampaikannya bahwa Badan Anggaran DPR telah mendorong pemerintah melakukan percepatan dan penambahan program bansos kepada rakyat.
“Sebab penyaluran bansos tepat waktu, tepat sasaran dan tepat jumlah adalah faktor penting bansos menolong hajat hidup rumah tangga miskin, baik natura maupun bantuan langsung tunai. Namun justru penebalan bansosnya baru dijalankan November 2023,” kata Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Pemerintah juga diminta untuk memastikan ketersediaan pasokan pangan rakyat hingga 6 bulan ke depan, terutama komoditas yang impor seperti beras, jagung, kedelai, gula, daging, minyak bumi dan lainnya. Disampaikannya, untuk menghindari konflik kepentingan maka pelaksanaan impor pangan dan minyak bumi sebaiknya melalui BUMN.
“Pelaksanaan kebijakan impor pangan dan minyak bumi harus melalui BUMN untuk menghindari konflik kepentingan, apalagi perburuan renten menjelang pelaksanaan pemilu 2024, agar fair dan adil buat semua kontestan, sekaligus memperkuat peran BUMN,” ujar Said.
Untuk itu, pemerintah juga harus memastikan kesiapan BUMN sebagai pelaku impor. BUMN harus memiliki pencadangan dolar AS atau mata uang internasional lainnya untuk mengurangi selisih kurs tinggi terhadap mata uang asing.
Tak hanya bergantung pada komoditas impor, menurut Said kesiapan program infrastruktur juga harus dipastikan terlebih karena sudah dianggarkan hingga triliunan rupiah. Nantinya infrastruktur yang direncanakan diharapkan bisa perlahan menopang dan mencukupi kebutuhan pangan dan energi secara mandiri.
Di sisi moneter Said juga menyinggung Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang telah digulirkan oleh Bank Indonesia beberapa waktu silam. SRBI merupakan instrumen operasi moneter yang menggunakan underlying asset Surat Berharga Negara (SBN). Menutup pernyataannya, ia menegaskan mitigasi risiko terhadap APBN perlu diperhitungkan, termasuk kemampuan BI menggunakan SRBI menahan tekanan eksternal.
“Secara substansi tidak berbeda dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penggunaan SBN sebagai penjaminan SRBI harus hati hati digunakan oleh BI dalam operasi moneter untuk pengendalian tekanan Dolar AS terhadap rupiah. Apalagi sejak awal kita mengetahui kebijakan suku bunga tinggi yang dilakukan The Fed akan berlangsung lama dan panjang,” tutupnya.