Melahirkan Pro dan Kontra
Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba) untuk menjawab segala tantangan yang ada namun dalam perkembangannya faktanya Undang- Undang tersebut dinilai belum menjawab segala permasalahan yang ada, sehingga pemerintah menilai perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara agar dapat memberikan kepastian hukum untuk kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara bagi pelaku usaha di bidang mineral dan batu bara. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 menjadi penyempurna terhadap Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam pengesahan UU Minerba menimbulkan pro dan kontra, baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat. Sebagian pihak yang menyetujui revisi UU Minerba berpendapat bahwa penting dengan melihat perlunya pengaturan yang lebih jelas dalam bentuk Undang- Undang No. 3 Tahun 2020 yang sebelumnya dianggap sebagi regulasi yang tidak sesuai dan diperlukan segera pembaruan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan substansi untuk 4 penyesuaian terutama berkaitan dengan kewenangan pengelolaan pertambangan minerba; penyesuaian nomenklatur perizinan; dan kebijakan terkait divestasi saham.
Sedangkan di sisi lain, pihak kontra mengatakan bahwa UU Minerba ini dibentuk hanya mementingkan pemilik modal dalam hal investasi pertambangan. Publik dikejutkan dengan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 (selanjutnya disebut revisi UU Minerba) ini yang dari segi formil dapat dikatakan terlalu terburu-buru bagaikan kilat.
Apalagi proses pembentukan, seperti rapat dengar pendapat dan rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilakukan dan disahkan di tengah masa pandemi Covid-19. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi dalam pernyataan tertulis menuturkan salah satu contoh tujuan revisi UU Minerba adalah untuk menjamin kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang kontraknya segera berakhir. Faktanya, ketentuan yang ada dalam UU 4/2009 tidak menjamin kesempatan bagi pengusaha tambang memperoleh perpanjangan kontrak secara otomatis. Jika revisi tidak dilakukan, dominasi mereka akan terputus. Dengan adanya revisi maka terbuka kesempatan bagi para pengusaha tambang tetap mendominasi penguasaan sumber daya alam minerba minimal 20 tahun ke depan.
Selain itu, revisi UU Minerba kurang melibatkan aspirasi masyarakat. Faktanya, pengajuan revisi UU Minerba pada pemerintah dan DPR periode 2014- 2019 ditolak. Namun, upaya untuk terus mencetuskan revisi UU Minerba terus terjadi secara intensif mulai dari 17 Februari 2020 hingga 6 Mei 2020. Pada akhirnya, revisi UU Minerba, yaitu Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan pada tanggal 10 Juni 2020 sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009.
Peraturan Minerba sebagai Perwujudan Kepentingan Masyarakat
Dalam mewujudkan UU Minerba yang pro rakyat, maka diperlukan UU Minerba yang memenuhi syarat penting, yaitu sebagai berikut:
Mengedepankan Otonomi Daerah dan Tidak Adanya Conflict of Interest
Pengesahan revisi UU Minerba dapat dikatakan lebih berpihak kepada pihak pengusaha tambang dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Permasalahan diantaranya adalah yakni persoalan perizinan yang dalam Pasal 4 Ayat (2) UU Minerba menyatakan bahwa:
“Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah”
Sedangkan dalam revisi UU Minerba pada Pasal 4 Ayat (2) isinya berubah menjadi:
“Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang Undang ini“.
Perubahan yang ada pada revisi UU Minerba secara jelas telah mencabut kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan perizinan dan pengawasan wilayah pertambangan, sehingga dengan revisi UU Minerba memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat dalam mengelola tambang yang ada di daerah demi terwujudnya sistem investasi yang lebih ringkas dan secara efektif.
Namun di sisi lain, pengambilalihan kewenangan pemerintah daerah ke pemerintah pusat tersebut melanggar prinsip otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan perwujudan keberpihakan Negara kepada rakyatnya karena tidak ada yang lebih tahu dari masyarakat lokal itu sendiri tentang bagaimana cara untuk makmur dan sejahtera. Hal ini juga akan membuat banyak manfaat yang seharusnya diterima oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal yang akan terpotong oleh pemerintah pusat. Ini jelas menggambarkan ketidakkonsistenan pemerintah dan bentuk kapitalis baru di dalam dunia pertambangan.
Selain itu, sebagian besar masyarakat menilai bahwa kewenangan pemerintah pusat dalam memberikan izin pertambangan akan kental dengan konflik kepentingan (conflict of interest). Benturan kepentingan dari pihak yang berkuasa dikhawatirkan merusak iklim investasi pertambangan yang merugikan masyarakat. Apalagi banyak perusahaan pertambangan yang tidak memperhatikan dari sisi kehidupan sosial masyarakat setempat dan dampak lingkungan yang ada. Contohnya, perusahaan tambang yang tidak memperhatikan tanggul air yang mengakibatkan banjir, mencemari sumber air bersih masyarakat setempat, dan kerusakan lahan, serta tidak melakukan reklamasi terhadap hasil galian tambang. Maka dari itu, untuk mewujudkan UU Minerba yang baik adalah peraturan yang sesuai dengan masyarakat lokal tempat perusahaan itu beroperasi dengan memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah mengelola daerahnya sendiri dan tidak adanya conflict of interest yang merugikan masyarakat.
Pembentukan Peraturan Pelaksanaan yang Pro Rakyat
Pemberlakuan revisi UU Minerba juga mempunyai implikasi yang sangat signifikan terhadap pertanggung jawaban perusahaan pertambangan terhadap kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 100, Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka perusahaan wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang, kemudian jika pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui, maka menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan tersebut.
Dalam hal ini menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif bagi pemegang IUP dan IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud tidak membayarkan dana jaminan. Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi ataupun operasi produksi dan pencabutan IUP, IPR, IUPK.
Hal yang disempurnakan terkait aturan reklamasi dan pasca tambang pada revisi UU Minerba ini adalah bagi pemegang IUP dan IUPK yang izin usahanya dicabut atau berakhir tetapi tidak melaksanakan reklamasi/pascatambang yang akan berdampak bagi lingkungan hidup atau tidak menempatkan dana jaminan reklamasi/pascatambang dapat dipidana paling lama 5 (lima) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Selain sanksi pidana, pemegang IUP dan IUPK dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang menjadi kewajibannya. Dengan kata lain, kehadiran revisi UU Minerba membuat para pemegang IUP dan IUPK mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kerusakan lingkungan, demikian juga ancaman sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kegiatan tambang yang tidak melakukan reklamasi pascatambang dengan memberikan dana jaminan.
Revisi UU Minerba belum mampu menjamin pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang. Namun hal tersebut dapat dilakukan secara optimal dengan hadirnya peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) sesuai dengan Pasal 174 revisi UU Mineba.
Peraturan pemerintah tersebut berisi tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Beberapa hal yang harus diatur diantaranya adalah pelaksanaan pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan, prinsip-prinsip reklamasi dan pascatambang, pelaksanaan dan pelaporan reklamasi pascatambang, dana jaminan reklamasi dan pasca tambang, reklamasi dan pasca tambang yang memenuhi kriteria untuk diusahakan kembali, reklamasi dan pascatambang bagi pemegang izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Penambangan Bantuan (SIPB), dan mengenai penyerahan lahan tambang.
Penutup
Bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia adalah elemen penting dalam upaya mensejahterakan rakyat Indonesia. Pemerintah hadir sebagai penguasa yang diberikan kuasa untuk mengatur kekayaan alam yang ada untuk kepentingan rakyat. Hal tersebut dapat terwujud hanya dengan dasar pijakan yang kuat, yaitu UU Minerba dalam aspek pertambangan mineral dan batubara yang mencakup keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai dasar tujuan hukum yang ada.
Revisi UU Minerba, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dirasa belum menyentuh kepentingan luhur rakyat Indonesia, sehingga diperlukan suatu stimulus baru dalam iklim pertambangan mineral dan batu bara dengan mengedepankan otonomi daerah tanpa adanya conflict of interest. Selain itu, dalam rangka memperkuat regulasi hingga di daerah, diperlukan peraturan pelaksana yang jelas dan kuat sebagai tindak lanjut payung hukum yang ada untuk menghindari kerugian besar yang dialami, seperti kerusakan lingkungan hidup, keberpihakan kepada kehidupan sosial masyarakat lokal, dan menindak tegas para pengusaha tambang yang nakal. Maka dari itu, UU Minerba yang ada saat ini perlu dilakukan kembali Telaahan demi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dr. Yossita Wisman, M.M.Pd
– Dosen S2 Ilmu Sosial Pascasarjana Universitas Palangkaraya
– Sekjen Perkumpulan Intelektual Dayak Indonesia (Perindai)