SUARAENERGI.COM – Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman menilai teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon atau carbon capture storage (CCS) bakal memperpanjang pemanfaatan energi fosil.
“Teknologi CCS merupakan opsi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang juga dapat memperpanjang masa pemanfaatan energi fosil,” kata Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia berkomitmen mewujudkan net zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, yang mana gas bumi menjadi backbone pada transisi energi menuju energi bersih.
“Sepuluh tahun ke depan ini kita sebut golden age of gas di Indonesia sebagai energi transisi. Orang akan berlomba-lomba menggunakan gas bumi dalam melakukan kegiatannya. Penggunaan batu bara dan gas masih cukup besar dalam bauran energi nasional hingga tahun 2060 yang terlihat dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN),” sebut Saleh dalam acara Geoseminar dengan tema “Potensi Carbon Capture Storage serta Peluang dan Tantangan Pengembangannya untuk Mendukung Target Net Zero Emission di Indonesia” di Bandung, Jawa Barat, Jumat (26/7/2024).
Saleh menuturkan dampak perubahan iklim sebagai akibat meningkatnya GRK memerlukan berbagai strategi untuk mengurangi dampaknya terhadap lingkungan.
Pemanfaatan teknologi CCS dapat mengurangi GRK ke atmosfer yang dapat memperpanjang jangka waktu pemanfaatan energi fosil.
“Banyak sumur migas di Indonesia yang mengandung konsentrasi CO2 cukup tinggi. Banyak pula sumur-sumur migas yang sudah depleted atau habis, sehingga memerlukan enhanced oil recovery (EOR)/enhanced gas recovery (EGR) untuk mempertahankan atau meningkatkan produksi migas,” katanya.
Selain itu, jelas Saleh, perkembangan sektor industri yang bersifat hard to abate atau harus menggunakan karbon dalam proses produksinya, sehingga memerlukan CCS.
Berbagai penelitian sedang berlangsung untuk memanfaatkan CO2, yang mana CO2 tidak lagi menjadi limbah tetapi berpeluang menjadi komoditas (carbon recycling).
Hal itu membuka peluang untuk mendapatkan nilai ekonomi karbon dan terbukanya potensi multi sources multi storage untuk CCS.
Saleh melanjutkan potensi multi sources multi storage untuk CCS akan memerlukan banyak pipa sebagai aksesnya agar biayanya lebih murah maka pipa yang digunakan tersebut harus open access.
“Jika menggunakan pipa open access dengan lokasi lapisan saline aquifer yang sama, akan berpotensi menurunkan biaya CCS. Salah satu tugas BPH Migas adalah menentukan tarif toll untuk pipa transmisi gas. Jadi, kami juga harus bersiap mendukung pengembangan CCS ini,” katanya.
Lebih lanjut, Saleh menyampaikan saat ini terdapat 70 ruas transmisi gas yang digunakan untuk mengangkut gas di seluruh Indonesia.
Di setiap ruas tersebut, terdapat pipa yang pemanfaatan pengangkutan gasnya mencapai 60 persen, tetapi ada pula di bawah 30 persen. Artinya, masih banyak ruang yang dapat dimanfaatkan untuk pengangkutan, termasuk hasil dari teknologi CCS.
Peluang pengembangan CCS di Indonesia cukup besar. Meski terdapat tantangan yang harus dihadapi yaitu penguatan aspek regulasi dan keteknikan, antara lain terkait penentuan lokasi CCS, pemantauan, pelaporan, verifikasi, dan sertifikasi hasil pelaksanaan kegiatan CCS, dan aspek kelembagaan untuk pengembangan hub CCS.
Selain itu, dukungan fiskal dan nonfiskal dalam pengembangan CCS/CCUS (carbon capture utility and storage) dalam konteks pencapaian target NZE Indonesia.
“Tantangan lainnya adalah pemanfaatan nilai ekonomi karbon membutuhkan pendekatan G to G untuk mendapatkan captive market, selain melalui mekanisme bursa karbon yang lebih bersifat B to B,” sebutnya.
Sementara, Kepala Badan Geologi Mohammad Wafid menyampaikan Badan Geologi selama ini telah berperan penting dalam eksplorasi formasi bebatuan yang menjadi batuan reservoir.
Kini, menyusul pemanfaatan teknologi CCS dan CCUS, Badan Geologi dihadapkan pada tantangan baru untuk dapat menemukan dan mendata formasi batuan yang memiliki potensi besar dalam penyimpanan karbon.
Saat ini, Badan Geologi sedang melakukan inventarisasi untuk menghitung potensi CCS di Indonesia, terutama pada cekungan sedimen frontier yang selama ini belum terdapat aktivitas signifikan.
“Pengambilan data lapangan secara sistematis dimulai dengan pengambilan data di Pulau Jawa pada tahun lalu. Kemudian, pada tahun ini, kegiatan dilakukan di Pulau Sumatera dan selanjutnya terus akan dilakukan ke wilayah-wilayah lain di Indonesia, yang nantinya diharapkan dapat melengkapi data terkait potensi CCS di Indonesia berupa Atlas Potensi CCS di Indonesia,” jelasnya.**