SUARAENERGI.COM – Pemerintah sudah meluncurkan skema pendanaan transisi energi berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) di KTT G20 Bali pada November 2022 lalu. Namun hingga kini, publik masih kesulitan mendapatkan akses informasi tentang implementasi skenario dan rencana transisi energi.
Dalam JETP, Presiden Joko Widodo bersama dengan International Partners Group (IPG) yang melibatkan Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Perancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Britania Raya, bersepakat untuk menjalankan kerjasama pendanaan untuk proses dekarbonisasi sektor energi Indonesia. Mereka berjanji untuk mengumpulkan dana US$ 20 miliar dari berbagai sumber dalam periode 3-5 tahun.
Meski komitmen transisi energi JETP ini sudah delapan bulan berlalu, namun dokumen-dokumen perencanaan dan agendanya masih tertutup. Padahal, lebih dari 278 juta jiwa penduduk Indonesia berada di garis terdepan dalam krisis iklim dan telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang candu pada energi fosil batubara.
Padahal sebelumnya, Sekretariat JETP telah menyatakan akan meluncurkan dokumen rencana investasi dan kebijakan komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) pada hari ini, Rabu (16/8). Publik pun dijanjikan adanya akses untuk bertukar informasi terkait perkembangan dokumen ini untuk ruang partisipasi publik.
“Aspek keadilan yang digadang-gadang selalu disebutkan dalam berbagai skema pendanaan transisi energi nyatanya masih jauh dari harapan. Kami menganggap transisi energi yang berkeadilan seharusnya bersifat transparan dan partisipatif. Nyatanya, hingga saat ini tidak ada dokumen yang bisa dijangkau dengan mudah oleh publik. Ruang partisipasi publik seyogyanya menjadi hak warga negara, apalagi investasi ini akan berisiko utang yang harus dibayarkan kemudian hari,“ ujar Manajer Portofolio Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, Selasa (15/8/2023).
Menurut Beyrra, masyarakat selalu dikesampingkan dalam keputusan-keputusan penting terkait investasi besar, terlebih masalah pengadaan energi. Padahal ketika bencana iklim dan suhu ekstrem mendera, rakyatlah yang paling merasakan dampaknya.
“Tapi informasi terkait skenario transisi, seperti komitmen pemensiunan dini PLTU, pengembangan energi terbarukan dan bagaimana pemulihan atas dampak setiap proses pengelolaan energi, nyatanya selama ini tidak melibatkan pihak yang paling tersakiti dan dirugikan,” ungkapnya.
Banyak Persoalan
Di atas kertas, skema-skema pendanaan iklim ini krusial dalam transisi energi. Namun, banyak catatan yang harus diperhatikan. Afrika Selatan misalnya, telah menjalankan skema pendanaan JET-IP sejak tahun 2021. Namun dalam implementasinya skema tersebut memiliki banyak persoalan. Mulai dari transparansi dan partisipasi publik yang minim, lemahnya aspek keadilan terhadap buruh terdampak, porsi hibah yang kecil dibandingkan utang, hingga kentalnya kepentingan industri fosil yang masuk melalui solusi palsu.
Secara historis, proyek-proyek pembangunan intensif seperti yang akan didanai JETP cenderung riskan. Ketika aspek penegakan keadilannya minim, risikonya akan ditanggung masyarakat lokal.
Ekonom dan Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan seharusnya Indonesia membangun sistem tata kelola yang kuat dan memastikan aspek-aspek keadilan dan transparansi dari skema-skema pendanaan yang tersedia. Sistem ini bukan hanya akan berlaku pada JETP, tetapi juga segala skema yang mungkin ditawarkan pada Indonesia di masa depan.
“Salah satu yang paling penting adalah transparansi. Tanpa transparansi yang intens dari skema pendanaan, maka transisi energi yang adil tidak mungkin terjadi. Kita selalu terbiasa dengan skema pembangunan yang top-down tanpa pelibatan publik secara bermakna,” ujar Bhima.
Namun akhirnya masyarakat selalu jadi korban, kehilangan penghasilan, bahkan kehilangan tempat tinggal. Dengan teknologi komunikasi sekarang, idealnya ada keterlibatan publik, dari yang paling sederhana menggunakan website untuk memberikan akses terhadap draf penyusunan CIPP JETP.
“Satu-satunya alasan tidak membuka akses adalah pemerintah memang tidak punya political will,” ujar Bhima.
Dia menegaskan, tanpa adanya transparansi, proyek-proyek investasi akan berisiko besar mengancam masyarakat lokal dan masyarakat rentan. Transisi yang benar-benar adil harus mempertimbangkan aspek ketenagakerjaan, aspek gender, disabilitas, dan inklusi sosial (GEDSI), dan menangani legacy impact dari segala proyek energi. Untuk itu, pelibatan masyarakat seluas-luasnya, terutama masyarakat rentan terdampak, harus dijamin.
“Aspek keadilan dari skema transisi, seperti misalnya JETP, harus dikemukakan secara nyata, bukan hanya menjadi embel-embel manis. Skema-skema investasi seringkali berfokus pada aspek bisnis dan pembangunan yang menjamin untung. Sementara pelibatan masyarakat lokal, re-edukasi buruh, dan hal sejenis yang tidak menguntungkan cenderung diabaikan. Harus ada instrumen yang menjamin aspek ini,” ujar Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional, Dwi Sawung.